
My rating: 5 of 5 stars
Ketika melihat buku ini dan membaca sedikit resensinya dibelakang buku ini, hati ini langsung tertarik. Setiap kisah yang menceritakan perjuangan dan semangat seseorang untuk bisa bersekolah setinggi-tingginya dan berusaha menggapai impiannya selalu membuatku terharu dan terkadang jika kisah itu disampaikan dengan bahasa yang menarik, air mataku tak terasa pasti keluar terkadang bergetar tubuh dan jiwaku. Entahlah...kisah seperti ini seolah melemparku kembali ke masa lalu...
Novel ini diangkat dari kisah nyata Ma Yan yang tinggal di Zhangjiashu, Cina. Kisah tentang Ma Yan seorang anak perempuan yang dilahirkan seorang ibu yang miskin, keluarga yang miskin, yang harus berjuang untuk tetap bersekolah. Dia harus berjalan kaki berkilo-kilo meter hingga bengkak kakinya untuk bisa pergi ke sekolah, harus menghadapi preman-preman yang terkadang merampas sedikit barang yang dapat dia bawa walaupun itu hanya alat sekolah dan sedikit roti. Ma Yan seorang anak perempuan pandai yang bercita-cita memperbaiki nasibnya, nasib ibunya, ayahnya dan keluarganya dari kemiskinan, dan cita-cita tersebut diyakininya dapat dicapai melalui perjuangan bersekolah, untuk mendapatkan ilmu sebagai bekal untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik jauh lebih baik dari keadaan yang harus ditanggung ibu dan ayahnya.
Kisah ini semakin menarik karena diceritakan dari sisi Ma Yan sendiri dan juga dari sisi Ibu yang berjuang keras menahan sakit untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya, agar garis kemiskinan tidak lagi menghampiri anak-anaknya.
Ketika membaca bagaimana Ma Yan harus berjalan kaki ke sekolah, harus menahan lapar, harus menahan hati melihat temannya membeli segala barang sementara dia sendiri tidak. Aku seolah tahu persis bagaimana perasaannya saat itu, Ah..... aku jadi ingat diriku sendiri sejak SMP ayahku kehilangan pekerjaan, ibuku hanya ibu rumah tangga, setiap hari hanya makan dari tanaman yang ada di kebun, sebutir telur harus dibagi empat untuk aku dan 3 saudaraku. Maka ketika ulang tahun ibuku memberikan satu telur utuh terasa bagai hadiah istimewa bagi kami. Untuk kebutuhan sehari-hari, buah-buahan hasil kebun dijual ibuku dengan tanpa patokan harga tergantung yang mau membeli. Sampai selepas SMA ayahku masih belum mendapat pekerjaan, beliau mencari pekerjaan di Jakarta, ayahku semakin jauh merantau dari tempat asalnya, Ternate, Maluku Utara. Saat masa sekolah kutenggelamkan diriku dalam buku-buku pelajaran, seringkali buku-buku itu kuperoleh dari meminjam baik di perpustakaan atau teman-teman atau harus bongkar gudang mencari buku-buku orangtuaku jaman dulu, toh ilmu bisa didapat dari buku mana saja tidak harus sama dengan yang digunakan disekolah. Berjalan kaki ke SMAku di Jl. Wahidin dari rumahku memang tidak sejauh Ma Yan berjalan tetapi jarak 3 kilometer cukup jauh dan melelahkan dibanding teman-teman yang datang dengan kendaraaan. Pada saat itu yang ada dalam benakku hanyalah berhasil di sekolah, setiap selesai sholat tahajud aku langsung belajar pada jam 3 pagi, sore hari, malam hari, kegiatanku cuma belajar, prestasi terbaik tak pernah lepas dari tanganku tapi ketika harapanku untuk melangkah ke jenjang lebih tinggi harus terhenti seolah duniaku mati. Berhenti sekolah adalah mimpi buruk bagiku, maka ketika aku membaca halaman 128 - 129 dimana sang ibu berkata pada Ma Yan bahwa dia tidak bisa lagi bersekolah, aku seperti melihat diriku sendiri. Seolah terulang lagi ibuku datang dan memberitahu bahwa ayahku gagal memperoleh lagi pekerjaannya dan tidak mungkin bisa membiayai kuliahku, aku diminta untuk mengerti, karena sudah cukuplah beban ibuku membiayai kuliah kakak di ITB, anak laki-laki harapan orangtua yang kelak diharapkan dapat membantu. Persis sama dengan yang dialami Ma Yan. Aku menangis, berontak, marah..merasa tidak berguna, merasa tidak dihargai segala prestasi yang didapat. Selama berminggu-minggu semangatku lenyap, tapi aku tidak mau kalah hingga akhirnya aku mengikuti test di sebuah lembaga pendidikan program satu tahun dengan biaya pendaftaran yang kuhutang dulu karena belum ada, untung saja bagian pendaftarannya kenal kakakku jadi dibolehin.. test..lulus peringkat satu dapat bea siswa 100 persen, nol biaya...Alhamdulillah Allah mengabulkan doaku, doa orangtuaku..selepas kuliah..langsung diminta mengajar dan kemudian melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri..
Lho..lho kok jadi cerita diri sendiri sih,..entar malah bosenin yang baca review... Yang jelas cerita nyata yang diceritakan kembali dalam bentuk novel ini begitu menyentuh dan enak untuk dibaca. Semoga semangat, cita-cita dan impian tidak pernah mati dalam hati sanubari kita..
View all my reviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar