Sabtu, 19 April 2014

DAMPAK TEKNOLOGI KONVERSI BATUBARA TERHADAP LINGKUNGAN STUDI KASUS PADA PEMBANGUNAN PLTU CIREBON


DAMPAK TEKNOLOGI KONVERSI BATUBARA
TERHADAP LINGKUNGAN
STUDI KASUS PADA PEMBANGUNAN PLTU CIREBON

1.      Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan 13.000 pulau  lebih yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Indonesia juga kaya dengan potensi sumber daya manusia. Pada tahun 2007 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 220 juta orang dan terus bertumbuh. Tetapi masih cukup banyak penduduk Indonesia yang belum bisa menikmati listrik. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya kapasitas pembangkit listrik yang tersedia dan masih banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau distribusi listrik karena hambatan geografis. Sejak beberapa tahun terakhir keterbatasan pasokan tenaga listrik telah mencapai keadaan yang mempengaruhi tingkat keandalan tenaga listrik yang didistribusikan kepada pelanggan dan bahkan harus diambil langkah drastis seperti pemadaman listrik bergilir karena adanya defisit pasokan.
Untuk memenuhi kebutuhan kapasitas daya listrik nasional, pemerintah melakukan berbagai upaya. Salah satu program yang sedang dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan kapasitas sistem ketenagalistrikan nasional adalah dengan membangun 10.000 MW pembangkit listrik berbahan batubara. Program pembangungan 10.000 MW pembangkit listrik tenaga uap ini didasarkan atas Peraturan Presiden RI No. 71 tahun 2006. Program ini memiliki tujuan untuk memenuhi defisit pasokan energi pada saat sekarang ini dan mengantisipasi pertumbuhan permintaan energi dalam beberapa tahun kedepan.  Program ini juga untuk menunjang peningkatan diversifikasi  energi  dalam pembangkitan energi listrik.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batubara dijadikan pilihan dibandingkan pembangkit listrik tenaga lain, karena faktor sumber daya alam berupa batubara tersedia cukup besar di Indonesia sehingga masih mencukupi kebutuhan nasional hingga 60 sampai 70 tahun kedepan. PLTU juga merupakan sistem pembangkit listrik yang paling efisien dan murah dibandingkan PLTN atau PLTD.
Pembangunan PLTU di desa Kanci Kulon kecamatan Astanajapura yang berkapasitas 660 MW (megawatt)  merupakan upaya untuk menghadapi ancaman krisis listrik yang akan dialami Pulau Jawa – Bali. PLTU Cirebon juga akan memperkuat pasokan listrik sistem Jawa Bali sekaligus mengurangi porsi pemakaian BBM. Bagi Cirebon sendiri dengan adanya PLTU ini maka Cirebon akan memiliki cadangan listrik yang akan dapat memenuhi kebutuhan pasokan listrik di wilayahnya.
Pemilihan Cirebon sebagai lokasi dibangunnya PLTU sangat dipengaruhi oleh letak Cirebon yang strategis dalam kaitannya dengan jalur pasokan listrik Jawa – Bali dan letaknya yang tidak terlalu jauh dari sumber daya alam batubara yang didatangkan dari Kalimantan dan Sumatera, juga karena Cirebon telah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) yang dapat dijadikan sebagai  gardu atau transit dari pasokan listrik yang dihasilkan PLTU sebelum dilanjutkan dan disebarkan ke semua jalur pasokan listrik di Jawa – Bali.
Konsekuensi dari sebuah pembangunan dalam hal ini pembangunan PLTU yang menggunakan teknologi konversi batubara akan dapat membawa dampak terhadap lingkungan baik dampak positif maupun negatif. Dampak tersebut mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan dan  lingkungan.  Pengaruh negatif struktur sosial masyarakat di sekitar pembangunan PLTU yang mungkin bisa terjadi adalah perilaku atau kebiasaan masyarakat menjadi lebih konsumtif dan ketidak harmonisan atau konflik sosial antar warga. Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah dampak negatif terhadap kualitas lingkungan.
Strategi yang tepat dapat diupayakan untuk mengantisipasi dan menanggulangi  dampak negatif yang terjadi. Pengembangan dan perbaikan sistem serta teknologi penanggulangan dampak negatif telah telah diupayakan misalnya teknologi pengelolaan polusi dan gas buang. Penyusunan rencana pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan serta kontrol yang kuat dari seluruh steakholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat) sangat diperlukan untuk  mengendalikan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas PLTU tersebut. Dengan pengelolaan yang baik maka diharapkan kehadiran usaha dan pembangunan dari suatu industri yang menggunakan suatu teknologi tertentu  memiliki daya guna dan manfaat yang tinggi bagi semua makhluk hidup, baik manusia, flora, fauna, air, tanah dan ekositem lainnya.
Dengan mengetahui keterkaitan antara penggunaan teknologi konversi batubara dalam pembangunan PLTU yang bertujuan meningkatkan pasokan energi yang berskala nasional dan dampaknya pada lingkungan maka penulis memilih judul “Dampak Teknologi Konversi Batubara terhadap Lingkungan Studi Kasus pada Pembangunan PLTU Cirebon”

2.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana dampak teknologi konversi batubara pada pembangunan PLTU Cirebon terhadap aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat di Kabupaten Cirebon?
2.      Bagaimana dampak teknologi konversi batubara pada pembangunan PLTU Cirebon terhadap kualitas lingkungan di Kabupaten Cirebon ?
3.      Bagaimana strategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak teknologi konversi batubara pada pembangunan PLTU Cirebon ?
         Manfaat dari penulisan esai ini adalah penulis berharap :
1.      Menemukan kondisi riil sosial, ekonomi masyarakat sekitar pembangunan PLTU dan kerusakan kondisi lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas pembangunan PLTU .
2.      Adanya strategi penanggulangan dampak sosial, ekonomi dan kondisi lingkungan akibat pembangunan PLTU.

3.  Pembahasan

3.1. Teknologi Konversi Batubara

Teknologi pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik telah berkembang cukup lama dan bahkan merupakan salah satu teknologi pembangkitan listrik yang pertama setelah PLTA. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut telah berhasil dikembangkan berbagai sistem dan teknologi konversi. Secara sederhana prinsip kerja sebuah pembangkit listrik tenaga uap batubara dapat dijelaskan sebagai berikut : batubara disulut dan dibakar dalam sebuah ruang bakar untuk mendidihkan air dalam ketel uap. Uap bertekanan ini kemudian dialirkan menuju turbin yang akan merubah energi thermokimia ini menjadi energi kinetik rotasi. Turbin uap ini terhubung dengan generator listrik sehingga saat turbin berputar generator akan bekerja dan menghasilkan energi listrik.
Tabel Sistem konversi batubara menjadi listrik
Teknologi
Prinsip
Pulverized  Fuel(PF)
Batubara ditumbuk halus kemudian dimasukan ke dalam  ruang bakar. Panas yang dihasilkan digunakan untuk memanaskan air sehingga berubah menjadi uap
Fluidized Bed  Combustion  (FBC)
Di samping batubara kualitas baik, juga bisa menggunakan  bahan bakar kualitas rendah  seperti low grade coal, biomass, ban bekas, dan lain-lain.
Integrated Gas Combined  Cycle  (IGCC)
Sistem dengan dua turbin: turbin gas dan turbin uap. Ekspansi gas dalam turbin gas dan kemudian digunakan untuk memananskan ketel uap untuk memutar turbin uap. Efisiensi tinggi dan kualitas bahan bakar beragam.

Hasil utama dari pembakaran batubara adalah energi thermokimia yang dikonversi menjadi energi listrik. Disamping itu, proses ini juga menghasilkan  materi yang bisa berdampak negatif terhadap lingkungan.




3.2.    Dampak Teknologi Konversi Batubara pada pembangunan PLTU Cirebon terhadap aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat

Pembangunan PLTU di Cirebon  membawa dampak positif maupun dampak negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.

a. Dampak positif
1.      Mengangkat citra Kabupaten Cirebon, khususnya di kalangan investor sehingga mereka tidak ragu untuk menanamkan investasi di Kabupaten Cirebon. Dengan masuknya investasi tersebut akan berimbas pada naiknya pendapatan daerah Kabupaten Cirebon itu sendiri.
2.      Memberikan peluang kerja karena dapat menyerap tenaga kerja dari berbagai tingkatan, baik dari masyarakat sekitar proyek maupun dari luar wilayah Cirebon. 
3.      Memberikan peluang usaha, dengan banyaknya warga masyarakat yang bekerja di proyek PLTU secara tidak langsung dapat meningkatkan roda perekonomian, yaitu masyarakat warga sekitar dapat membangun perumahan yang bisa disewakan dan dikontrakkan ke pekerja-pekerja dari luar kota, yang secara langsung berpengaruh pada pendapatan para pedagang di sekitar PLTU.
4.      Memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan listrik yang memuaskan  karena Cirebon memiliki cadangan pasokan listrik yang dihasilkan dari PLTU yang ada di wilayahnya.

b. Dampak Negatif
1.    Hilangnya mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan kehidupannya sebagai nelayan baik nelayan penangkap ikan maupun nelayan yang melakukan budidaya kerang kerang hijau serta warga  pembuat terasi dan  petani garam. Proses pengurugan tanah untuk pembangunan PLTU di sepanjang pesisir Astanajapura  Cirebon telah  menyebabkan air laut menjadi keruh dan menghitam akibat buangan lumpur dan limbah. Dengan air laut yang telah tercemar maka kerang hijau, ikan maupun udang rebon menjadi mati atau tidak bisa lagi hidup di lokasi tersebut. Demikian pula bagi para petani garam, yang tidak lagi bisa mendapatkan hasil yang optimal karena air laut yang tercemar.
2.    Dengan hilangnya mata pencaharian, menyebabkan banyaknya anak-anak usia sekolah yang kehilangan kesempatan untuk bersekolah karena sekolah menjadi sesuatu beban yang mahal. Hal ini disebabkan orang tua mereka kehilangan penghasilan.
3.    Makin besarnya kemungkinan resiko pemukiman warga menjadi banjir karena pengurugan tanah untuk pembangunan PLTU menutup sebagaian bersar air sungai dari darat sehingga bila hujan dan pasang laut, pemukiman mereka bisa menjadi banjir.
4.    Timbulnya ketegangan sosial antara masyarakat yang menolak dan yang mendukung pembangunan PLTU. Salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat diantara warga adalah masalah pembebasan tanah. Pemberian ganti rugi tanah dilakukan beberapa tahap dengan harga yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan kecemburuan dan ketegangan. Ketegangan antar warga masyarakat ini bisa memicu timbulnya bentrokan yang pada akhirnya hanya akan merugikan masyarakat itu sendiri.

3.3. Dampak Teknologi Konversi Batubara pada pembangunan PLTU Cirebon terhadap lingkungan

Proses teknologi konversi batubara (coal) pada PLTU  menghasilkan polutan dan gas buang dengan komposisi yang paling banyak di antara minyak bumi, gas, batubara. Polutan dan gas buang yang dihasilkan dari  proses pembakaran batubara ini memiliki dampak negatif terhadap manusia, lingkungan lokal, dan  bahkan lingkungan global.
Berikut adalah  dampak negatif dari teknologi konversi batubara pada proses PLTU :
1. Hujan Asam
Hujan asam terutama terjadi diakibatkan karena tingginya gas sulphur oksida dan nitrogen oksida (Peavy,et al,1985).Gas SOx dan NOx akan bereaksi  dengan uap air yang terdapat dalam atmosfer dan mengalami oksidasi. Oksidasi gas SOx akan menghasilkan H2S, HSO3- dan H2SO4 yang bersifat asam kuat, sedangkan oksidasi gas NOx akan menghasilkan asam nitrat (HNO3). Pengaruh hujan asam adalah asidifikasi (pengasaman) yang mengakibatkan : Terganggunya kesetimbangan ion pada banyak organisme akuatik, sehingga akan menyebabkan kematian organisme akuatik; Meningkatkan kadar logam, karena pengasaman akan melarutkan banyak logam di perairan, misalnya merkuri dan aluminium; Menjadikan terganggunya siklus nutrient ; Mengganggu proses dekomposisi, karena akan mengubah komposisi mikroba ; Mengakibatkan penurunan alga yang hidup di perairan; merusak bangunan karena mengakibatkan pengkaratan, dan lain-lain.
2. Green House Effect
CO2 yang dihasilkan dari PLTU dapat menyebabkan efek rumah kaca, karena kumpulan gas tersebut akan menyelubungi permukaan bumi. Oleh karena itu, cahaya matahari yang masuk ke bumi tidak dapat lagi dipantulkan ke angkasa, sebab terperangkap di dalam bumi.
3. Penyakit pada Manusia
PLTU menghasilkan berbagai limbah partikulat dan debu,seperti fly ash, debu silikat, oksida besi, dan lain sebagainya. Limbah tersebut dapat menyebabkan gangguan dan penyakit pernapasan pada manusia, contohnya adalah Pneumoconiosis, atau penyakit pengerasan paru-paru, sehingga tidak dapat mengembang dan mengempis secara normal. Selain itu, limbah radioaktif dari PLTU juga dapat mengganggu organ tubuh manusia, karena umumnya bersifat karsinogen.
4. Kerusakan Biota
Logam-logam berat seperti Pb, Hg, Ar, Ni, Se juga dihasilkan oleh PLTU. Logam berat ini apabila terakumulasi di perairan dapat menyebabkan kematian organisma, terutama bila logam tersebut tersuspensi dalam air limbah yang dibuang oleh PLTU dan kemudian menuju laut, maka akan mencemari biota di laut lebih luas lagi.



3.4.    Strategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak teknologi konversi batubara pada pembangunan PLTU Cirebon
Pengelolaan lingkungan di PLTU harus bersifat komprehensif dan melakukan pengendalian pada seluruh aspek. Berikut adalah beberapa teknologi atau strategi yang dapat digunakan dalam pengelolaan polusi dan gas buang ditinjau dari karakteristik limbah yang dikeluarkan, antara lain :

1. Pengelolaan Limbah Padat dan Gas
a. Sistim pembakaran batu bara bersih Pembakaran Lapisan Mengambang /Fluidized Bed Combustion (FBC) .
Prinsip kerja PLTU adalah batu bara yang akan digunakan/dipakai dibakar di dalam boiler secara bertingkat. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh laju pembakaran yang rendah dan tanpa mengurangi suhu yang diperlukan sehingga diperoleh pembentukan NOx yang rendah. Bila suhu pembakaran pada Bioler biasa adalah sekitar 1400 – 1500, maka dengan menggunakan FBC, suhu pembakaran berkisar antara 850 – 900 saja sehingga kadar thermal NOx yang timbul dapat ditekan. Proses pembakaran suhunya lebih rendah sehingga NOx yang dihasilkan kadarnya menjadi rendah, dengan demikian sistim pembakaran ini bisa mengurangi polutan. Bila ke dalam tungku boiler dimasukkan kapur (Ca) dan dari dasar tungku yang bersuhu 750 – 950oC dimasukkan udara, akibatnya terbentuk lapisan mengambang yang membakar. Pada lapisan itu terjadi reaksi kimia yang menyebabkan sulfur terikat dengan kapur sehingga dihasilkan CaSO4 yang berupa debu sehingga mudah jatuh bersama abu sisa pembakaran. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pengurangan emisi sampai 98% dan abu CaSO4-nya bisa dimanfaatkan. Keuntungan sistim pembakaran ini adalah bisa menggunakan batu bara bermutu rendah dengan kadar belerang yang tinggi, dan banyak ditemukan di Indonesia.
b. Electrostatic Precipitator
Electrostatic Precipitator (ESP) adalah salah satu alternatif penangkap debu dengan effisiensi tinggi (mencapai diatas 90%) dan rentang partikel yang didapat cukup besar. Dengan menggunakan electrostatic precipitator (ESP) ini, jumlah limbah debu yang keluar dari cerobong diharapkan hanya sekitar 0,16 % (efektifitas penangkapan debu mencapai 99,84%). Alat ini sudah digunakan di PLTU di Indonesia. Cara kerja dari electrostatic precipitator (ESP) adalah (1) melewatkan gas buang (flue gas) melalui suatu medan listrik yang terbentuk antara discharge electrode dengan collector plate, flue gas yang mengandung butiran debu pada awalnya bermuatan netral dan pada saat melewati medan listrik, partikel debu tersebut akan terionisasi sehingga partikel debu tersebut menjadi bermuatan negative. (2) Partikel debu yang sekarang bermuatan negatif (-) kemudian menempel pada pelat-pelat pengumpul (collector plate). Kemudian debu yang dikumpulkan di collector plate dipindahkan kembali secara periodik dari collector plate melalui suatu getaran (rapping). Debu ini kemudian jatuh ke bak penampung (ash hopper).
c.    FGD (Flue Gas Desulfurization)
FGD adalah alat yang berguna untuk menghilangkan/mereduksi Sulfur Dioksida (SO2) dari flue gas (gas buang) hasil pembakaran batubara PLTU. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam. Gipsum tersebut dapat digunakan untuk bahan bangunan.
d.    Reuse and Recycle Material
Contoh limbah padat yang dihasilkan dari PLTU batu bara adalah fly bottom ash yang masih mengandung fixed carbon, sehingga apabila tidak dikelola dengan baik akan menghasilkan gas metana. Partikulat ini dapat di recycle untuk industri semen sebagai pengganti batuan trass yang bersifat pozzolanic untuk pembuatan semen tahan asam (PPC).
2. Pengelolaan Limbah Cair
Limbah cair keluaran dari PLTU berasal dari beberapa tempat antara lain air sisa boiler (Boiler Blowdown), air sublimasi dari FGD (FGD Blowdown), air limpasan hujan di kolam abu (Ash Run Off) dan air limpasan hujan di penampungan batu bara (Coal Run Off). Air yang masih mengandung material berbahaya diolah dalam beberapa proses antara lain, netralisasi dan sedimentasi.
Tahapan proses yang terjadi adalah :
·         Netralisasi yaitu proses penyesuaian pH air limbah. pH air limbah harus disesuaikan dengan kondisi ideal ekosistem biota laut yakni antara 6-9. Air limbah dengan kadar pH yang masih berbahaya dicampurkan dengan senyawa lain agar menjadi lebih ramah lingkungan.
·         Flokulasi / Sedimentasi yaitu proses penggumpalan bahan-bahan terlarut sehingga mudah untuk diendapkan.Setelah mengendap, endapan tersebut dipadatkan. Padatan itu kemudian ditempatkan di Kolam Abu. Kolam Abu ini dilapisi oleh plastik dengan tingkat kekedapan air yang amat tinggi sehingga menutup kemungkinan limbah berbahaya di atasnya dapat terserap ke dalam tanah. Semua proses tersebut mengubah material berbahaya menjadi material yang bersahabat dengan lingkungan.

4.  Kesimpulan
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Cirebon merupakan suatu bagian dari rencana  percepatan pembangunan 10.000 MW pembangkit listrik tenaga uap yang memiliki tujuan untuk memenuhi defisit pasokan energi dan mengantisipasi pertumbuhan permintaan energi dalam beberapa tahun kedepan serta untuk menunjang peningkatan diversifikasi energi dalam pembangkitan energi listrik.
Pemanfaatan batubara sebagai sebuah solusi jangka pendek atau menengah harus segera diikuti dengan penyusunan strategi penyediaan energi listrik jangka panjang. Cadangan sumber daya alam fosil nasional dalam jangka panjang ketersediaannya sangat terbatas. Sehingga solusi penyediaan tenaga listrik jangka panjang perlu dipikirkan secara lebih serius untuk menjaga kelanjutan pembangunan nasional khususnya energi listrik yang bersih, handal, mencukupi dan berkelanjutan.

Pemanfaatan teknologi konversi batubara dalam upaya memenuhi kebutuhan energi listrik masih bisa dilakukan namun seyogyanya juga mengadopsi teknologi pengelolaan gas buang dan polutan sehingga dapat mengurangi dampak negatif bagi lingkungan sosial, ekonomi maupun lingkungan alam sehingga tujuan pembangunan PLTU tersebut mempunyai nilai manfaat yang lebih besar. Dengan kata lain setiap teknologi yang digunakan dalam setiap pembangunan yang membawa dampak besar bagi perubahan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan haruslah memperhatikan faktor keselamatan dan kesehatan serta pelestarian lingkungan sehingga  kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud.

Selasa, 15 April 2014

ANALISIS TREND KECELAKAAN TRANSPORTASI LAUT DAN PENGARUH FAKTOR HUMAN ERROR PADA KECELAKAAN LAUT TAHUN 2003 – 2008

BAB  I
PENDAHULUAN

1.1. Latarbelakang
Transportasi merupakan urat nadi perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia.  Aktivitas perkembangan transportasi di Indonesia semakin meningkat merupakan dampak dari aktivitas perekonomian dan aktivitas sosial budaya masyarakat. Peningkatan aktivitas transportasi secara nasional dalam setiap moda transportasi membawa dampak meningkatnya insiden dan kecelakaan transportasi.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau tentunya sangat mengandalkan transportasi laut sebagai salah satu sarana angkutan antar pulau untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan perjalanan antar pulau. Penggunaan transportasi laut tidak terlepas dari adanya resiko kecelakaan yang dapat menimpa kapal maupun penumpang didalamnya. Tingginya kasus kecelakaan laut di Indonesia harus menjadi perhatian seluruh pihak, bukan hanya pemilik kapal, melainkan juga pemerintah, instansi terkait dan masyarakat.
Penyebab utama kecelakaan laut pada umumnya karena faktor kelebihan angkutan dari daya angkut yang telah ditetapkan, baik angkutan barang maupun angkutan orang. Bahkan tidak jarang pemakai jasa pelayaran memaksakan diri naik kapal meskipun kapal sudah penuh dengan tekad asal dapat tempat di atas kapal.
Dalam rangka pengintegrasian sarana dan prasarana transportasi yang memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan transportasi, perlu standarisasi atau peraturan sistem dan prosedur, serta sumber daya manusia yang profesional untuk mewujudkan pelayanan penyelenggaraan transportasi yang utuh dan berhasil guna serta berdaya guna. Maka untuk itu diperlukan suatu sistem tata pemerintahan yang baik dimana pemerintah mempunyai fungsi sebagai pembinaan terhadap pelayanan transportasi meliputi aspek pengaturan, aspek pengawasan dan aspek pengendalian.
Aspek pengaturan meliputi penetapan kebijakan umum dan kebijakan teknis antara lain penentuan standar, norma, pedoman, kriteria, perencanaan, prosedur termasuk persyaratan keamanan dan keselamatan.
Aspek pengawasan meliputi kegiatan pemantauan, penilaian, investigasi, rekomendasi dan tindakan korektif serta penegakan hukum terhadap penyelenggaraan transportasi agar sesuai standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan perencanaan yang telah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Aspek pengendalian meliputi arahan, bimbingan dan petunjuk, perijinan, sertifikasi dan pelatihan serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.
Untuk pengintegrasian penyelenggaraan transportasi yang memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan tersebut, maka perlu adanya suatu analisis trend kecelakaan transportasi yang bersifat strategis, dalam hal ini diperlukan analisis trend kecelakaan transportasi laut tahun 2003 – 2008, yang dapat membantu membuat acuan dasar dalam program-program penelitian keselamatan transportasi dalam Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, penyusun merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana prediksi kecelakaan laut pada tahun-tahun selanjutnya?
2.      Bagaimana pengaruh human error terhadap terjadinya kecelakaan laut?

1.3. Manfaat yang diperoleh
Dari rumusan masalah tersebut penyusun akan dapat memperoleh manfaat yaitu:
1.      Dapat mengetahui prediksi kecelakaan pada tahun-tahun selanjutnya misalnya pada lima tahun yang akan datang.
2.      Dapat mengetahui pengaruh human error sebagai salah satu faktor penyebab terhadap terjadinya kecelakaan laut.




BAB  II
KARAKTERISTIK KECELAKAAN TRANSPORTASI LAUT

2.1. Analisa Karakteristik Kecelakaan Transportasi Laut
Kapal  sebagai sarana angkutan laut antar pulau yang banyak diminati masyarakat memiliki resiko kecelakaan yang cukup tinggi. Setiap saat keselamatan jiwa manusia di laut bisa terancam, baik para awak kapal atau pelaut maupun penumpang. Dari fakta dan data  yang diperoleh ternyata kecelakaan laut telah memakan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit, kecelakaan itu bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan menimpa siapa saja.
Untuk menghadapi kemungkinan terjadinya kecelakaan laut, para awak kapal dan penumpang harus mengetahui tentang cara-cara penyelamatan diri sewaktu kecelakaan di kapal (personal survival technique), pemadam kebakaran (fire fighting), pertolongan pertama pada kecelakaan (first aid) dan keselamatan diri dalam tanggung jawab sosial (personal safety and social responsibility).
Para awak kapal harus memiliki pengetahuan (knowledge), pemahaman (understanding), kecakapan (proficiency) serta keterampilan (skill) yang diperlukan untuk mengantisipasi resiko kecelakaan dan meminimalisir kesalahan manusia (human error) sebagai salah satu faktor kecelakaan laut yang terjadi.
Karakteristik kecelakaan pada umumnya adalah :
a.       Kecelakaan sebagai kejadian yang langka.
b.      Kecelakaan sebagai suatu peristiwa yang tidak tahu kapan akan terjadi
c.       Kecelakaan sebagai peristiwa-peristiwa multi faktor.


TIPIKAL KECELAKAAN
OBJEK
WHAT
Tipe kecelakaan dan indikator keselamatan :
a.       Tipe kecelakaan : tenggelam, terbakar, tubrukan, kandas.
b.      Tingkat kecelakaan
§  Kapal Motor
§  Kapal Layar Motor
§  Tug Boat
§  Tongkang
§  Kapal Tanker

a.       Faktor teknis :
·      Kurang cermat dalam mendesain kapal.
·      Penelantaran perawatan kapal sehingga mengakibatkan kerusakan kapal atau bagian-bagian kapal yang menyebabkan kapal mengalamai kecelakaan kapal, terbakarnya kapal.


b.      Faktor alam :
·      Cuaca buruk : badai, gelombang tinggi yang dipengaruhi oleh musim/badai, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang terbatas.

§  Pemilik kapal
§  Marine Inspector
§  Awak kapal
§  Galangan kapal
§  Pemasok peralatan kapal


§  Alur pelayaran
§  Kolam pelabuhan
§  Informasi BMKG
WHO
Yang terlibat kecelakaan dan korban kecelakaan :
a.       Kapal yang terlibat kecelakaan.
b.      Manusia (laki-laki, perempuan, usia muda , dewasa, lanjut usia).

§  Nakhoda/ Juru mudi kapal
§  ABK
§  Penumpang
WHERE
Lokasi tempat kejadian kecelakaan :
a.       Lokasi kecelakaan

§  Alur pelayaran kapal
§  Kolam pelabuhan
§  Dermaga
WHEN
Waktu kejadian kecelakaan :
a.       Tanggal kejadian
b.      Jam kejadian

§  Kapal
§  Nakhoda
§  penumpang
HOW
Kronologis kejadian kecelakaan :
a.       Pergerakan kapal
b.      Kondisi kapal

§  Kapal
Tabel 2.1 Analisa Karakteristik Kecelakaan Transportasi Laut

2.2. Faktor penyebab kecelakaan
Kecelakaan yang terjadi di sungai, danau dan penyebrangan yang sampai ke Mahkamah Pelayaran pada tahun 2006 lebih disebabkan karena faktor kesalahan manusia (88%)  dan hanya sedikit kejadian kecelakan di perairan yang disebabkan oleh faktor alam. Menilik alasan tersebut di atas semestinya semua peristiwa kecelakaan bisa diminimalisir manakala ada usaha preventif dari semua pihak agar tidak tersandung pada batu yang sama.

Faktor-faktor penyebab yang secara langsung menyebabkan terjadinya kecelakaan  laut seperti yang digambarkan di gambar 2.1 sebagai berikut :
a.       Faktor Manusia
Faktor manusia merupakan faktor yang paling besar meliputi :
·       Kecerobohan dalam menjalankan kapal.
·       Kekurangmampuan awak kapal dalam menguasai berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam operasional kapal.
·       Secara sadar memuat kapal secara berlebihan.
·       Kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya keselamatan pelayaran sehingga masih sering memaksakan kehendak untuk menjadi penumpang tanpa memperdulikan keselamatan pelayaran.
b.      Faktor Teknis
Faktor teknis biasanya terkait dengan kekurangcermatan  dalam mendesain kapal. Penelantaran perawatan kapal sehingga mengakibatkan kerusakan kapal atau bagian-bagian kapal yang menyebabkan kapal mengalamai kecelakaan, terbakarnya kapal seperti yang dialami oleh Kapal Tampomas di perairan Masalembo.
c.       Faktor Alam
Faktor cuaca buruk merupakan permasalahan yang sering dianggap sebagai penyebab utama dalam kecelakaan laut. Permasalahan yang biasanya dialami adalah badai, gelombang yang tinggi yang dipengaruhi oleh musim / badai, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang terbatas.
 
Gambar 2.1 Faktor penyebab terjadinya kecelakaan transportasi laut.

2.3. Peranan Pemerintah, masyarakat dan swasta untuk mengatasi kecelakaan transportasi laut.
Kecelakaan laut meningkat seiring dengan peningkatan jumlah kapal. Sebagaimana telah dipahami secara luas, kecelakaan laut dapat diakibatkan oleh faktor manusia, alam, dan teknis, serta interaksi dan kombinasi antara ketiga faktor tersebut. Dalam berlayar, manusia sebagai pengguna transportasi berinteraksi dengan kapal dan lingkungan di sekitarnya (termasuk kapal lain, alur pelayaran, pelabuhan, dan situasi kondisi setempat). Interaksi ini terkadang sangat kompleks dan terkait dengan berbagai aspek. Menyadari banyaknya aspek yang berkaitan dengan ketiga faktor tersebut, mengupayakan keselamatan pelayaran melalui pengurangan angka kecelakaan dan resiko kematian dan luka serius akibat kecelakaan dan barang yang diangkut sudah tentu tidak cukup diupayakan melalui pendekatan mono-sektoral, melainkan membutuhkan upaya-upaya pendekatan multisektoral.
Berkenaan dengan hal itu, dapat diindentifikasi adanya 14 aspek yang dapat diintervensi untuk mengurangi angka dan resiko kecelakaan seperti pada gambar 2.2. Secara operasional, sektor-sektor ini dikelompokkan ke dalam lima pendekatan yang dikenal sebagai Pendekatan 5-E, yaitu: pendekatan rekayasa (engineering), pendidikan (education), penegakan hukum (enforcement), penggalakan dan penggalangan (encouragement), serta kesiapan tanggap darurat (emergency preparedness).
Dari standard konvensi-konvensi Internasional yang mengatur tentang keselamatan kapal disimpulkan bahwa untuk mencapai sasaran keselamatan jiwa di laut diperlukan pembenahan 5 (lima) kelompok sub sistim / persyaratan utama yaitu :
1. Sumber daya manusia (persyaratan)
2. Kapal sebagai sarana (persyaratan dan perlengkapan)
3. Pengoperasian (manajemen pengoperasian kapal)
4. Faktor external kapal (prasarana)
5. Manajemen, yaitu suatu proses koordinasi terhadap keempat sub sistim yang lain.


Gambar 2.2  Prinsip Pendekatan 5 E



BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Data Statistik Kecelakaan Kapal Laut
Jumlah kecelakaan pelayaran di Indonesia cukup memprihatinkan, terutama selama periode 2003-2008, dengan terjadinya 691 kasus kecelakaan pada tahun 2003 tercatat 71 peristiwa kecelakaan, tahun 2004 sebanyak 79 kecelakaan, tahun 2005 sebanyak 125 kecelakaan, tahun 2006 sebanyak 119 kecelakaan, tahun 2007 sebanyak 159 kecelakaan dan pada tahun 2008 sebanyak 138 kasus kecelakaan. Rata-rata kecelakaan selama 6 tahun tersebut adalah 17%, rincian lebih jelas seperti tampak dalam tabel berikut :
 Tabel 3.1. Data Kecelakaan Transportasi Laut Tahun 2003 – 2008

3.2. Analisa Trend
                  Analisa trend merupakan suatu metode analisis yang ditujukan untuk melakukan suatu estimasi atau peramalan pada masa yang akan datang. Untuk melakukan peramalan dengan baik maka dibutuhkan berbagai macam informasi (data) yang cukup dan dilakukan pengamatan dalam periode waktu yang relatif panjang, sehingga hasil analisis tersebut dapat diketahui sampai berapa besar fluktuasi yang terjadi dan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi perubahan tersebut.

3.2.1. Analisa  Regresi Trend Parabola
Untuk mengetahui besarnya kecelakaan 5 (lima) tahun kedepan atau tahun 2013 maka perlu digunakan metode analisa Regresi Trend Parabola yaitu garis regresi dimana variabel bebas X merupakan variabel waktu dengan persamaan  garis trend parabola sebagai berikut :
 


Berdasarkan data pada tabel 3.1, diperoleh grafik sebagaimana gambar di bawah ini :
Gambar 3.1 Grafik Kecelakaan Kapal Tahun 2003 - 2008
Pemecahan masalah di dalam regresi trend parabola menggunakan persamaan normal sebagai berikut :
 





Penyelesaian :
1.      Langkah pertama, mencari variabel X  terlebih dahulu. Variabel X diperoleh dari nilai yang berada di tengah variabel Y.
2.      Jika jumlah datanya genap maka variabel X dimulai dari titik 1, sedangkan jika datanya ganjil maka variabel X dimulai dari titik 0, dimana jumlah dari seluruh nilai variabel adalah 0.
3.      Berdasarkan langkah 1 dan 2 maka  diperoleh data seperti tabel 3.2.  berikut ini :
 Tabel 3.2. Perhitungan Analisa Regresi Parabola
 
  è  Ã¨

Persamaan 1 dan 3
   è
è  -

Nilai c dimasukkan ke persamaan 1 :
 
 
  
 

Jadi  persamaan trend parabola dari Y adalah :
atau

Prediksi jumlah kecelakaan laut  tahun 2013 dengan  nilai X = 8 adalah
Hasil analisa tersebut di atas digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut :
Gambar 3.2 Grafik Analisa Regresi Parabola
Kesimpulan :
Berdasarkan perhitungan analisis regresi parabola  diperoleh informasi bahwa  prediksi jumlah kecelakan pada 5 tahun yang akan datang atau pada tahun 2013 adalah 82,4895  sehingga bila dibandingkan dengan angka kecelakaan periode 2003-2008 terjadi penurunan angka kecelakaan laut.  

3.2.2.      Analisa Korelasi

Analisa Korelasi digunakan untuk mengetahui derajat (seberapa kuat)  hubungan linier antara  dua variabel atau lebih. Ukuran derajat tersebut dinyatakan sebagai Koefisien Korelasi. Dengan mengetahui koefisien korelasi maka akan menunjukkan arah dan kuat hubungan antara dua variabel atau lebih tersebut.

3.2.3. Arah Hubungan Antar Variabel
·         Korelasi negatif menunjukan bahwa kedua variabel  (X dan Y) memiliki kecenderungan yang berlawanan (yaitu kenaikan nilai X, diikuti dengan penurunan nilai Y, demikian juga sebaliknya penurunan nilai X diikuti dengan kenaikan nilai Y), Nilai r = - 1 menunjukkan kedua variabel berkorelasi negatif secara sempurna. Sebaran data tepat membentuk garis lurus (hal yang dalam kenyatan jarang terjadi).
·         Korelasi nol (r=0) menunjukan bahwa kedua variabel tidak berkorelasi, yaitu kenaikan atau penurunan nilai variabel X, tidak mempengaruhi nilai peubah Y.
·         Korelasi positif menunjukan bahwa kedua variabel memiliki kecenderungan yang sama, yaitu kenaikan nilai X, diikuti dengan kenaikan nilai Y, demikian juga sebaliknya penurunan nilai X diikuti dengan penurunan nilai Y, Nilai r = 1 menunjukkan kedua peubah berkorelasi positif secara sempurna.

3.2.4  Kekuatan Hubungan Antar Variabel
Untuk memudahkan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel kita dapat menggunakan pedoman berikut :





r = koefisien korelasi
Interpretasi
0
tidak ada korelasi antara dua variabel
0      –  0,20
sangat rendah / lemah sekali
0,21 –  0,40
rendah / lemah
0,41 –  0,70
cukup kuat
0,70 –  0,90
kuat
0,91 – 0,99
sangat kuat
1
korelasi sempurna
Tabel 3.3 Pedoman interpretasi koefisien korelasi

3.2.5. Rumus Koefisien Korelasi  dan Koefisien Penentu (KP)
 




atau
 




         
KP = r² x 100%

3.3. Data Statistik Kecelakaan Transportasi Laut Berdasarkan Faktor Penyebab
Faktor Human Error merupakan salah satu penyebab dalam kecelakaan transportasi laut seperti yang ditampilkan dalam Tabel 3.3,  untuk mengetahui  seberapa besar pengaruh faktor Human Error tersebut, maka metode yang tepat untuk mengukurnya  adalah metode analisa korelasi.


Tabel 3.4 Data faktor penyebab kecelakaan transportasi laut periode 2003 - 2008

3.4. Pembahasan Analisa Korelasi Faktor Penyebab Human error terhadap Jumlah Kecelakaan Transportasi Laut
Tabel 3.5. Data Kecelakaan Laut Tahun 2003 – 2008 berdasarkan faktor Human Error


Tabel 3.6 Perhitungan Analisa Korelasi

Penjelasan tabel tersebut adalah sebagai berikut :
1.        X adalah  variabel bebas yaitu faktor penyebab atau faktor yang mempengaruhi variabel lainnya.
2.        Y adalah variabel terikat (tak bebas) yaitu data yang dipengaruhi oleh faktor penyebab.
3.         adalah rata-rata nilai variabel X.
4.         adalah rata-rata nilai variabel Y.
5.        r adalah Koefisien Korelasi
6.        KP adalah angka yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel X terhadap variabel Y.

Besarnya koefisien korelasi :

 







Besar  kontribusi X terhadap Y dapat diketahui dengan cara mengkuadratkan koefisien korelasinya kemudian dikalikan 100% (KP = r² x 100%) seperti berikut :
 



Kesimpulan :
1.      Nilai Koefisien Korelasinya adalah 0,50399 dan bernilai positif, hal ini berarti hubungan faktor  Human Error dengan jumlah kecelakaan laut adalah cukup kuat yaitu sebesar 0,50399 dan memiliki arah positif yang berarti apabila faktor Human Error meningkat , maka akan meningkatkan jumlah kecelakaan dan  apabila faktor Human Error menurun, maka akan menurunkan jumlah kecelakaan laut.
2.        Besar Koefisien Penentu (KP) adalah 25,40 % al ini menunjukkan bahwa besarnya kontribusi faktor Human error terhadap naik-turunnya jumlah kecelakaan laut adalah 25,40 % sedangkan sisanya dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab lainnya.


Berikut ini adalah grafik kecelakaan laut berdasarkan penyebab periode tahun 2003 – 2008.




Grafik 3.3. Grafik Kecelakaan Transportasi Laut berdasarkan faktor Penyebab.



BAB  IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisa yang telah dilakukan terhadap data statistik jumlah kecelakaan transportasi laut periode 2003 – 2008 diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.      Prediksi jumlah kecelakan pada tahun 2013 atau 5 tahun setelah tahun 2008 adalah 82,4895  sehingga bila dibandingkan dengan angka kecelakaan periode 2003-2008 terjadi penurunan angka kecelakaan laut. 
2.      Berdasarkan Koefisien Korelasi sebesar 0,50399 menunjukkan bahwa hubungan faktor  Human Error dengan jumlah kecelakaan laut ternyata cukup kuat yaitu sebesar 25,40% terhadap naik – turunnya jumlah kecelakaan laut dan memiliki arah positif,  yang berarti apabila faktor Human Error meningkat, maka akan meningkatkan jumlah kecelakaan dan  apabila faktor Human Error menurun, maka akan menurunkan jumlah kecelakaan laut.

4.2. Saran
Untuk meminimalisir kecelakaan di laut, terutama yang disebabkan oleh faktor human error yang menjadi topik pembahasan makalah ini maka diperlukan peran semua pihak baik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Berikut beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadi kecelakaan transportasi laut.
1.    Sebaiknya pemerintah memasang mesin X-ray Mobil dan timbangan. Sehingga setiap mobil truk dan kendaraan lainnya sebelum masuk ke perut kapal sudah diperiksa awal.
2.    Sistem navigasi kapal dan semua peralatan yang dipergunakan di kapal angkutan transportasi laut harus segera dilengkapi dan dilakukan perawatan secara berkala.
3.    Pengadaan sistem patroli perlu dilakukan, berkaitan dengan ketidaknyamanan jalur-jalur pelayaran saat ini, terutama untuk menjaga keamanan penumpang dan barang, penertiban terhadap kapal yang mengangkut penumpang dan barang yang  berlebih, serta kapal-kapal yang tidak memiliki fasilitas keamanan yang memadai.
4.    Perlu diadakannya gerakan sadar keselamatan pelayaran nasional serta menanamkan budaya keselamatan (safety culture) di lingkungan masyarakat Indonesia khususnya di bidang maritim.
5.    Meningkatkan kompentensi Nakhoda dan Awak Kapal dengan sertifikasi Pelaut.