DAMPAK TEKNOLOGI KONVERSI BATUBARA
TERHADAP LINGKUNGAN
STUDI KASUS PADA PEMBANGUNAN PLTU CIREBON
1. Latar
Belakang
Indonesia
adalah sebuah negara kepulauan dengan 13.000 pulau lebih yang tersebar dari Aceh hingga Papua.
Indonesia juga kaya dengan potensi sumber daya manusia. Pada tahun 2007 jumlah
penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 220 juta orang dan terus bertumbuh.
Tetapi masih cukup banyak penduduk Indonesia yang belum bisa menikmati listrik.
Hal ini disebabkan oleh berkurangnya kapasitas pembangkit listrik yang tersedia
dan masih banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau distribusi listrik
karena hambatan geografis. Sejak beberapa tahun terakhir keterbatasan pasokan
tenaga listrik telah mencapai keadaan yang mempengaruhi tingkat keandalan
tenaga listrik yang didistribusikan kepada pelanggan dan bahkan harus diambil
langkah drastis seperti pemadaman listrik bergilir karena adanya defisit
pasokan.
Untuk memenuhi
kebutuhan kapasitas daya listrik nasional, pemerintah melakukan
berbagai upaya. Salah satu program yang sedang dilakukan pemerintah dalam upaya
meningkatkan kapasitas sistem ketenagalistrikan nasional adalah dengan
membangun 10.000 MW pembangkit listrik berbahan batubara. Program pembangungan
10.000 MW pembangkit listrik tenaga uap ini didasarkan atas Peraturan Presiden
RI No. 71 tahun 2006. Program ini memiliki tujuan untuk memenuhi defisit pasokan energi
pada saat sekarang ini dan mengantisipasi pertumbuhan permintaan energi dalam
beberapa tahun kedepan. Program ini juga
untuk menunjang peningkatan diversifikasi
energi dalam pembangkitan energi
listrik.
Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batubara dijadikan
pilihan dibandingkan pembangkit listrik tenaga lain, karena faktor sumber daya
alam berupa batubara tersedia cukup besar di Indonesia sehingga masih mencukupi
kebutuhan nasional hingga 60 sampai 70 tahun kedepan. PLTU juga merupakan
sistem pembangkit listrik yang paling efisien dan murah dibandingkan PLTN atau
PLTD.
Pembangunan
PLTU di desa Kanci Kulon kecamatan Astanajapura yang berkapasitas 660 MW
(megawatt) merupakan upaya untuk
menghadapi ancaman krisis listrik yang akan dialami Pulau Jawa – Bali. PLTU
Cirebon juga akan memperkuat pasokan listrik sistem Jawa Bali sekaligus
mengurangi porsi pemakaian BBM. Bagi Cirebon sendiri dengan adanya PLTU ini
maka Cirebon akan memiliki cadangan listrik yang akan dapat memenuhi kebutuhan
pasokan listrik di wilayahnya.
Pemilihan
Cirebon sebagai lokasi dibangunnya PLTU sangat dipengaruhi oleh letak Cirebon
yang strategis dalam kaitannya dengan jalur pasokan listrik Jawa – Bali dan
letaknya yang tidak terlalu jauh dari sumber daya alam batubara yang
didatangkan dari Kalimantan dan Sumatera, juga karena Cirebon telah memiliki
Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) yang dapat dijadikan sebagai gardu atau transit dari pasokan listrik yang
dihasilkan PLTU sebelum dilanjutkan dan disebarkan ke semua jalur pasokan
listrik di Jawa – Bali.
Konsekuensi dari
sebuah pembangunan dalam hal ini pembangunan PLTU yang menggunakan teknologi
konversi batubara akan dapat membawa dampak terhadap lingkungan baik dampak
positif maupun negatif. Dampak tersebut mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi,
kesehatan dan lingkungan. Pengaruh negatif struktur sosial masyarakat
di sekitar pembangunan PLTU yang mungkin bisa terjadi adalah perilaku atau
kebiasaan masyarakat menjadi lebih konsumtif dan ketidak harmonisan atau
konflik sosial antar warga. Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah dampak
negatif terhadap kualitas lingkungan.
Strategi yang tepat
dapat diupayakan untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak negatif yang terjadi. Pengembangan dan
perbaikan sistem serta teknologi penanggulangan dampak negatif telah telah
diupayakan misalnya teknologi pengelolaan polusi dan gas buang. Penyusunan
rencana pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan serta kontrol yang
kuat dari seluruh steakholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat)
sangat diperlukan untuk mengendalikan
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas PLTU tersebut. Dengan
pengelolaan yang baik maka diharapkan kehadiran usaha dan pembangunan dari
suatu industri yang menggunakan suatu teknologi tertentu memiliki daya guna dan manfaat yang tinggi
bagi semua makhluk hidup, baik manusia, flora, fauna, air, tanah dan ekositem
lainnya.
Dengan
mengetahui keterkaitan antara penggunaan teknologi konversi batubara dalam pembangunan
PLTU yang bertujuan meningkatkan pasokan energi yang berskala nasional dan
dampaknya pada lingkungan maka penulis memilih judul “Dampak Teknologi Konversi
Batubara terhadap Lingkungan Studi Kasus pada Pembangunan PLTU Cirebon”
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
dampak teknologi konversi batubara pada pembangunan PLTU Cirebon terhadap
aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat di Kabupaten Cirebon?
2.
Bagaimana
dampak teknologi konversi batubara pada pembangunan PLTU Cirebon terhadap
kualitas lingkungan di Kabupaten Cirebon ?
3.
Bagaimana
strategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak
teknologi konversi batubara pada pembangunan PLTU Cirebon ?
Manfaat dari penulisan esai ini adalah penulis berharap :
1. Menemukan kondisi riil sosial, ekonomi masyarakat
sekitar pembangunan PLTU dan kerusakan kondisi lingkungan yang disebabkan oleh
aktifitas pembangunan PLTU .
2. Adanya strategi penanggulangan dampak sosial, ekonomi
dan kondisi lingkungan akibat pembangunan PLTU.
3.
Pembahasan
3.1.
Teknologi Konversi Batubara
Teknologi pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar
pembangkit tenaga listrik telah berkembang cukup lama dan bahkan merupakan
salah satu teknologi pembangkitan listrik yang pertama setelah PLTA. Dalam
kurun waktu yang panjang tersebut telah berhasil dikembangkan berbagai sistem
dan teknologi konversi. Secara sederhana prinsip kerja sebuah pembangkit
listrik tenaga uap batubara dapat dijelaskan sebagai berikut : batubara disulut
dan dibakar dalam sebuah ruang bakar untuk mendidihkan air dalam ketel uap. Uap
bertekanan ini kemudian dialirkan menuju turbin yang akan merubah energi
thermokimia ini menjadi energi kinetik rotasi. Turbin uap ini terhubung dengan
generator listrik sehingga saat turbin berputar generator akan bekerja dan
menghasilkan energi listrik.
Tabel Sistem
konversi batubara menjadi listrik
Teknologi
|
Prinsip
|
Pulverized Fuel(PF)
|
Batubara ditumbuk halus kemudian dimasukan ke dalam ruang bakar. Panas yang dihasilkan
digunakan untuk memanaskan air sehingga berubah menjadi uap
|
Fluidized Bed Combustion (FBC)
|
Di samping batubara kualitas baik, juga bisa
menggunakan bahan bakar kualitas
rendah seperti low grade coal,
biomass, ban bekas, dan lain-lain.
|
Integrated Gas Combined
Cycle (IGCC)
|
Sistem dengan dua turbin: turbin gas dan turbin uap.
Ekspansi gas dalam turbin gas dan kemudian digunakan untuk memananskan ketel
uap untuk memutar turbin uap. Efisiensi tinggi dan kualitas bahan bakar
beragam.
|
Hasil utama
dari pembakaran batubara adalah energi thermokimia yang dikonversi menjadi
energi listrik. Disamping itu, proses ini juga menghasilkan materi yang bisa berdampak negatif terhadap
lingkungan.
3.2. Dampak Teknologi Konversi
Batubara pada pembangunan PLTU Cirebon terhadap aktifitas sosial dan ekonomi
masyarakat
Pembangunan PLTU di Cirebon membawa dampak positif maupun dampak negatif
terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.
a. Dampak positif
1.
Mengangkat
citra Kabupaten Cirebon, khususnya di kalangan investor sehingga mereka tidak
ragu untuk menanamkan investasi di Kabupaten Cirebon. Dengan masuknya investasi
tersebut akan berimbas pada naiknya pendapatan daerah Kabupaten Cirebon itu
sendiri.
2.
Memberikan
peluang kerja karena dapat menyerap tenaga kerja dari berbagai tingkatan, baik
dari masyarakat sekitar proyek maupun dari luar wilayah Cirebon.
3.
Memberikan
peluang usaha, dengan banyaknya warga masyarakat yang bekerja di proyek PLTU
secara tidak langsung dapat meningkatkan roda perekonomian, yaitu masyarakat
warga sekitar dapat membangun perumahan yang bisa disewakan dan dikontrakkan ke
pekerja-pekerja dari luar kota, yang secara langsung berpengaruh pada
pendapatan para pedagang di sekitar PLTU.
4.
Memberikan
jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan listrik yang memuaskan karena Cirebon memiliki cadangan pasokan
listrik yang dihasilkan dari PLTU yang ada di wilayahnya.
b. Dampak
Negatif
1.
Hilangnya
mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan kehidupannya sebagai nelayan
baik nelayan penangkap ikan maupun nelayan yang melakukan budidaya kerang
kerang hijau serta warga pembuat terasi dan
petani garam. Proses pengurugan tanah
untuk pembangunan PLTU di sepanjang pesisir Astanajapura Cirebon telah
menyebabkan air laut menjadi keruh dan menghitam akibat buangan lumpur
dan limbah. Dengan air laut yang telah tercemar maka kerang hijau, ikan maupun
udang rebon menjadi mati atau tidak bisa lagi hidup di lokasi tersebut.
Demikian pula bagi para petani garam, yang tidak lagi bisa mendapatkan hasil
yang optimal karena air laut yang tercemar.
2.
Dengan
hilangnya mata pencaharian,
menyebabkan banyaknya anak-anak usia sekolah yang
kehilangan kesempatan untuk bersekolah karena sekolah menjadi sesuatu beban
yang mahal. Hal ini disebabkan orang tua mereka kehilangan penghasilan.
3.
Makin
besarnya kemungkinan resiko pemukiman warga menjadi banjir karena pengurugan
tanah untuk pembangunan PLTU menutup sebagaian bersar air sungai dari darat
sehingga bila hujan dan pasang laut, pemukiman mereka bisa menjadi banjir.
4.
Timbulnya
ketegangan sosial antara masyarakat yang menolak dan yang mendukung pembangunan
PLTU. Salah satu sebab
terjadinya perbedaan pendapat diantara warga adalah masalah pembebasan tanah.
Pemberian ganti rugi tanah dilakukan beberapa tahap dengan harga yang
berbeda-beda, sehingga menimbulkan kecemburuan dan ketegangan. Ketegangan antar warga masyarakat ini bisa memicu
timbulnya bentrokan yang pada akhirnya hanya akan merugikan masyarakat itu
sendiri.
3.3. Dampak Teknologi Konversi Batubara pada pembangunan PLTU Cirebon
terhadap lingkungan
Proses teknologi konversi batubara (coal) pada
PLTU menghasilkan polutan dan gas buang
dengan komposisi yang paling banyak di antara minyak bumi, gas, batubara.
Polutan dan gas buang yang dihasilkan dari
proses pembakaran batubara ini memiliki dampak negatif terhadap manusia,
lingkungan lokal, dan bahkan lingkungan
global.
Berikut adalah
dampak negatif dari teknologi konversi batubara pada proses PLTU :
1. Hujan Asam
Hujan asam
terutama terjadi diakibatkan karena tingginya gas sulphur oksida dan nitrogen
oksida (Peavy,et al,1985).Gas SOx dan NOx akan bereaksi dengan uap
air yang terdapat dalam atmosfer dan mengalami oksidasi. Oksidasi gas SOx akan
menghasilkan H2S, HSO3- dan H2SO4
yang bersifat asam kuat, sedangkan oksidasi gas NOx akan menghasilkan asam
nitrat (HNO3). Pengaruh hujan asam adalah asidifikasi (pengasaman)
yang mengakibatkan : Terganggunya kesetimbangan ion pada banyak organisme
akuatik, sehingga akan menyebabkan kematian organisme akuatik; Meningkatkan
kadar logam, karena pengasaman akan melarutkan banyak logam di perairan, misalnya
merkuri dan aluminium; Menjadikan terganggunya siklus nutrient ; Mengganggu
proses dekomposisi, karena akan mengubah komposisi mikroba ; Mengakibatkan
penurunan alga yang hidup di perairan; merusak bangunan karena mengakibatkan
pengkaratan, dan lain-lain.
2. Green House
Effect
CO2 yang
dihasilkan dari PLTU dapat menyebabkan efek rumah kaca, karena kumpulan gas
tersebut akan menyelubungi permukaan bumi. Oleh karena itu, cahaya matahari
yang masuk ke bumi tidak dapat lagi dipantulkan ke angkasa, sebab terperangkap
di dalam bumi.
3. Penyakit
pada Manusia
PLTU
menghasilkan berbagai limbah partikulat dan debu,seperti fly ash, debu silikat,
oksida besi, dan lain sebagainya. Limbah tersebut dapat menyebabkan gangguan
dan penyakit pernapasan pada manusia, contohnya adalah Pneumoconiosis,
atau penyakit pengerasan paru-paru, sehingga tidak dapat mengembang dan
mengempis secara normal. Selain itu, limbah radioaktif dari PLTU juga dapat
mengganggu organ tubuh manusia, karena umumnya bersifat karsinogen.
4. Kerusakan Biota
Logam-logam
berat seperti Pb, Hg, Ar, Ni, Se juga dihasilkan oleh PLTU. Logam berat ini
apabila terakumulasi di perairan dapat menyebabkan kematian organisma, terutama
bila logam tersebut tersuspensi dalam air limbah yang dibuang oleh PLTU dan
kemudian menuju laut, maka akan mencemari biota di laut lebih luas lagi.
3.4. Strategi
yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak teknologi
konversi batubara pada pembangunan PLTU Cirebon
Pengelolaan
lingkungan di PLTU harus bersifat komprehensif dan melakukan pengendalian pada
seluruh aspek. Berikut adalah beberapa teknologi atau strategi yang dapat
digunakan dalam pengelolaan polusi dan gas buang ditinjau dari
karakteristik limbah yang dikeluarkan, antara lain :
1. Pengelolaan Limbah Padat dan Gas
a. Sistim
pembakaran batu bara bersih Pembakaran Lapisan Mengambang /Fluidized Bed
Combustion (FBC) .
Prinsip kerja
PLTU adalah batu bara yang akan digunakan/dipakai dibakar di dalam boiler
secara bertingkat. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh laju pembakaran yang
rendah dan tanpa mengurangi suhu yang diperlukan sehingga diperoleh pembentukan
NOx yang rendah. Bila suhu pembakaran pada Bioler biasa adalah sekitar 1400 –
1500℃, maka dengan menggunakan FBC,
suhu pembakaran berkisar antara 850 – 900℃ saja sehingga kadar thermal NOx yang timbul dapat
ditekan. Proses pembakaran suhunya lebih rendah sehingga NOx yang dihasilkan
kadarnya menjadi rendah, dengan demikian sistim pembakaran ini bisa mengurangi
polutan. Bila ke dalam tungku boiler dimasukkan kapur (Ca) dan dari dasar
tungku yang bersuhu 750 – 950oC dimasukkan udara, akibatnya
terbentuk lapisan mengambang yang membakar. Pada lapisan itu terjadi reaksi
kimia yang menyebabkan sulfur terikat dengan kapur sehingga dihasilkan CaSO4
yang berupa debu sehingga mudah jatuh bersama abu sisa pembakaran. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya pengurangan emisi sampai 98% dan abu CaSO4-nya
bisa dimanfaatkan. Keuntungan sistim pembakaran ini adalah bisa menggunakan
batu bara bermutu rendah dengan kadar belerang yang tinggi, dan banyak
ditemukan di Indonesia.
b.
Electrostatic Precipitator
Electrostatic
Precipitator (ESP) adalah salah satu alternatif penangkap debu dengan
effisiensi tinggi (mencapai diatas 90%) dan rentang partikel yang didapat cukup
besar. Dengan menggunakan electrostatic precipitator (ESP) ini, jumlah
limbah debu yang keluar dari cerobong diharapkan hanya sekitar 0,16 %
(efektifitas penangkapan debu mencapai 99,84%). Alat ini sudah digunakan
di PLTU di Indonesia. Cara kerja dari electrostatic precipitator (ESP)
adalah (1) melewatkan gas buang (flue gas) melalui suatu medan listrik
yang terbentuk antara discharge electrode dengan collector plate,
flue gas yang mengandung butiran debu pada awalnya bermuatan netral dan
pada saat melewati medan listrik, partikel debu tersebut akan terionisasi
sehingga partikel debu tersebut menjadi bermuatan negative. (2) Partikel debu
yang sekarang bermuatan negatif (-) kemudian menempel pada pelat-pelat
pengumpul (collector plate). Kemudian debu
yang dikumpulkan di collector plate dipindahkan kembali secara periodik
dari collector plate melalui suatu getaran (rapping). Debu ini
kemudian jatuh ke bak penampung (ash hopper).
c. FGD (Flue Gas Desulfurization)
FGD adalah alat yang berguna untuk menghilangkan/mereduksi Sulfur
Dioksida (SO2) dari flue gas (gas buang)
hasil pembakaran batubara PLTU. Hasil samping proses FGD disebut gipsum
sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam. Gipsum
tersebut dapat digunakan untuk bahan bangunan.
d. Reuse and Recycle Material
Contoh limbah
padat yang dihasilkan dari PLTU batu bara adalah fly bottom ash yang
masih mengandung fixed carbon, sehingga apabila tidak dikelola dengan
baik akan menghasilkan gas metana. Partikulat ini dapat di recycle untuk
industri semen sebagai pengganti batuan trass yang bersifat pozzolanic
untuk pembuatan semen tahan asam (PPC).
2. Pengelolaan Limbah Cair
Limbah cair
keluaran dari PLTU berasal dari beberapa tempat antara lain air sisa boiler
(Boiler Blowdown), air sublimasi dari FGD (FGD Blowdown), air
limpasan hujan di kolam abu (Ash Run Off) dan air limpasan hujan di
penampungan batu bara (Coal Run Off). Air yang masih mengandung material
berbahaya diolah dalam beberapa proses antara lain, netralisasi dan
sedimentasi.
Tahapan proses
yang terjadi adalah :
·
Netralisasi yaitu proses
penyesuaian pH air limbah. pH air limbah harus disesuaikan dengan kondisi ideal
ekosistem biota laut yakni antara 6-9. Air limbah dengan kadar pH yang masih
berbahaya dicampurkan dengan senyawa lain agar menjadi lebih ramah lingkungan.
·
Flokulasi / Sedimentasi yaitu
proses penggumpalan bahan-bahan terlarut sehingga mudah untuk
diendapkan.Setelah mengendap, endapan tersebut dipadatkan. Padatan itu kemudian
ditempatkan di Kolam Abu. Kolam Abu ini dilapisi oleh plastik dengan tingkat kekedapan
air yang amat tinggi sehingga menutup kemungkinan limbah berbahaya di atasnya
dapat terserap ke dalam tanah. Semua proses tersebut mengubah material
berbahaya menjadi material yang bersahabat dengan lingkungan.
4.
Kesimpulan
Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Cirebon merupakan suatu
bagian dari rencana percepatan
pembangunan 10.000 MW pembangkit listrik tenaga uap yang memiliki tujuan untuk memenuhi defisit pasokan energi dan mengantisipasi
pertumbuhan permintaan energi dalam beberapa tahun kedepan serta untuk
menunjang peningkatan diversifikasi energi dalam pembangkitan energi listrik.
Pemanfaatan batubara sebagai sebuah
solusi jangka pendek atau menengah harus segera diikuti dengan penyusunan strategi
penyediaan energi listrik jangka panjang. Cadangan sumber daya alam fosil
nasional dalam jangka panjang ketersediaannya sangat terbatas. Sehingga solusi
penyediaan tenaga listrik jangka panjang perlu dipikirkan secara lebih serius
untuk menjaga kelanjutan pembangunan nasional khususnya energi listrik yang
bersih, handal, mencukupi dan berkelanjutan.
Pemanfaatan teknologi konversi batubara
dalam upaya memenuhi kebutuhan energi listrik masih bisa dilakukan namun
seyogyanya juga mengadopsi teknologi pengelolaan gas buang dan polutan sehingga
dapat mengurangi dampak negatif bagi lingkungan sosial, ekonomi maupun
lingkungan alam sehingga tujuan pembangunan PLTU tersebut mempunyai nilai
manfaat yang lebih besar. Dengan kata lain setiap teknologi yang digunakan
dalam setiap pembangunan yang membawa dampak besar bagi perubahan kondisi
sosial, ekonomi dan lingkungan haruslah memperhatikan faktor keselamatan dan
kesehatan serta pelestarian lingkungan sehingga kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Soekidjo Notoatmodjo, Prof.Dr., 2003, Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan, PT. Rineka Cipta Jakarta.
Nyoman S. Kumara, Telaah
terhadap Program Percepatan Pembangunan Listrik melalui Pembangunan PLTU Batubara 10.000 MW.
Juli Soemirat Slamet, 2002, Kesehatan Lingkungan, Gadjah
Mada University Press.
Supartono W., Drs. MM., 2004, Ilmu Budaya Dasar, Ghalia
Indonesia
Ince Raden, Dr., lr. ,MP dan kawan-kawan, November 2010, Kajian Dampak Penambangan
Batubara Terhadap Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Di Kabupaten Kutai
Kartanegara, Jakarta, Badan Penelitian
Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri,
----------------, Walau Sering Didemo Warga, Pltu Cirebon Ditargetkan Beroperasi Oktober,
http://www.pikiran-rakyat.com, Tribun Jabar Online, Selasa, 29 Maret 2011
-----------------, Makalah Dampak Pencemaran Lingkungan, http:// mklh8pencemaranlingkungan.blogspot.com, 19 Mei
2009
-----------------, Pembangunan PLTU Cirebon dan
Proses Pemiskinan Masyarakat,
http://mentarikalahari.wordpress.com, 25 Juli 2008
Nanan
Tribuana,Ir., PLTN VS PLTU untuk Energi
Pembangkit Listrik di Masa Mendatang, Subdirektorat Pengawasan Lingkungan
Ketenagalistrikan Ditjen LPE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar