Kisah-Kisah Zaman Revolusi
Karya H. Rosihan Anwar
Buku ini merupakan cetakan pertama yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1975. Buku ini dibuat sebagai kenang-kenangan peristiwa dari tahun 1945 sampai dengan 1949 berisi tulisan reportase Rosihan Anwar yang dimuat dalam harian “Merdeka”, majalah “Siasat” dan harian “Pedoman”. Buku ini oleh penulisnya dimaksudkan agar generasi muda memperoleh tambahan kesan dan terinsipirasi dari semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk menegakkan kemerdekaan.
Buku ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi lengkap dengan tanggal dan media apa yang digunakan penulis untuk menyampaikan beritanya. Pertempuran di Surabaya, penderitaan yang dialami oleh rakyat Semarang, keaadan para tentara Indonesia yang harus berjaga di front Jakarta – Bekasi sebagai garis Demarkasi pembatas antara wilayah Republik Indonesia dan daerah yang dikuasi Sekutu. Juga menceritakan sebab dan kejadian yang dialami warga Tangerang yang disebut dengan Tragedi Tangerang, peristiwa pembakaran dan pembunuhan antara kaum pribumi dan etnis keturunan Tionghoa. Sebagai salah satu wartawan yang diundang dalam konferensi Malino, Rosihan Anwar dapat menceritakan suasana penuh sandiwara yang terjadi di sana, bahwa wakil-wakil pemuda yang pro republik sebenarnya tidak dikehendaki hadir dalam konferensi itu tetapi melainkan menghadirkan pemuda pribumi yang pro Belanda sehingga ingin menunjukkan bahwa tidak semua rakyat Indonesia berada di belakang Sukarno dan Hatta dan Republik Indonesia.
Dinginnya Penjara Bukit Duri dan kotornya sel tempat penulis dipenjara karena kesalahpahaman pihak Belanda saat melihat berserakannya naskah dalam majalah Siasat menyebabkan Rosihan Anwar dinilai sebagai salah satu orang yang berbahaya dan memihak tentara Republik. Derita yang walaupun hanya dialami sebentar tapi sanggup menggambarkan situasi penjara yang sangat memprihatinkan.
Liputan berlanjut saat peristiwa perjanjian Renville di Kapal Renville juga peristiwa yang terjadi di Maluku serta perlawanan rakyat Menado bahkan hingga pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan benar-benar diceritakan sebagai bentuk perlawanan rakyat yang tetap setia kepada Republik Indonesia dan menolak kembalinya Belanda. Catatan penulis diakhiri dengan menggambarkan peristiwa jatuhnya Yogyakarta dan bagaimana kejadian menjemput kembali Jendral Sudirman yang bergerilya sebagai bentuk ketidak setujuannya akan isi perjanjian Konferensi Meja Bundar untuk memperlihatkan kekompakan para pucuk pimpinan Republik Indonesia dimata dunia. Buku ini juga sedikit menggambarkan kesan penulis terhadap pribadi Suharto dan tindakan-tidakannya pada peristiwa jatuhnya Yogyakarta dan menjemput pak Dirman.
Bagiku sendiri, buku ini cukup menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kurun waktu 1945 – 1949 apalagi ditambah dengan beberapa peristiwa langsung yang dialami penulis dengan para tokoh pimpinan RI yang belum pernah diceritakan buku-buku sejarah jaman saya masih sekolah. Yang jelas dalam setiap tulisannya tergambar kesan kuat semangat perjuangan untuk tetap menegakkan negara Indonesia dari berbagai rongrongan dan politik untuk menghancurkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar